RESEARCH
MASA DEPAN PERBANKAN INDONESIA 2025Bagaimana Bank menciptakan kembali Perbankan Baru
Kepemimpinan dan kemajuan industri perbankan modern dunia selama dekade lalu dikuasai oleh negara-negara barat hampir di semua aspek, mulai dari aset, pertumbuhan, hingga model bisnis, dan inovasi. Namun, sejak kemunculan Alipay dan Wechat Pay di tahun 2014, Asia sedang membalikkannya, memberikan hentakan yang mengubah permainan dan disrupsi dalam layanan perbankan dengan cara baru. Ini tidak hanya mencerminkan peran sentral dari beragam ekonomi timur dalam perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi kepemimpinan baru China dalam peguasaan Teknologi Finansial dan model bisnis baru perbankan yaitu Mybank dan Webank.
Sekarang, karena laju pertumbuhan melambat diakibatkan pandemi covid-19, bank-bank di dunia menghadapi tantangan serius dan harus mengubah diri mereka untuk bertahan hidup, termasuk di Indonesia. Pada tulisan ini, saya berusaha memberikan gambaran kekinian dan masa depan industri perbankan Indonesia dan menjabarkan sebuah rencana mitigasi yang memungkinkan bank dapat mengubah diri mereka sendiri, ber transformasi menjadi sebuah perbankan baru, perbankan yang melekat dalam keseharian kita, dimana saja & kapan saja, tidak perlu di Bank.
Kebangkitan Timur
Perkembangan di Asia telah menjadi mesin utama pertumbuhan perbankan global. Berdasarkan aset ada lebih dari 40 dari 100 bank terbesar di dunia adalah orang Asia dan menyumbang sekitar 50% dari kapitalisasi pasar dari 100 bank teratas secara global. Asia telah menjadi pasar perbankan regional terbesar di dunia selama satu dekade, menghasilkan laba keuntungan sebelum pajak lebih dari $ 700 miliar dan menyumbang 37% dari kumpulan laba perbankan global pada tahun 2018.
Saya memperkirakan bahwa ketika pendapatan terus meningkat dan kelas menengah tumbuh mencapai 2/3 dari rumah tangga di Asia, aset keuangan pribadi di kawasan ini akan berjumlah $ 69 triliun pada tahun 2025, mewakili sekitar 3/4 dari total global. Tidak hanya bank-bank Asia yang berkembang dan mulai melampaui amerika dan dunia barat, tetapi dalam hal kecakapan teknologi konsumen telah berhasil menciptakan peluang bagi bank untuk memberikan inovasi baru dan melompat maju. Inovator fintech paling terkenal di Asia, termasuk Alipay dan WeChat Pay, memimpin dunia dalam meningkatkan pembayaran digital. Menurut McKinsey’s Global Payments Map, pembayaran digital di Tiongkok menyumbang sekitar 99 persen dari volume transaksi non-tunai negara dan 45 persen dari pembayaran digital di seluruh dunia.
Di Asia, bank ternama bermitra dengan fintech start-up untuk mempromosikan pembayaran digital. Di Thailand, Kasikornbank dan Grab telah bekerja sama untuk meluncurkan GrabPay oleh Kbank. BRI (Bank Rakyat Indonesia) telah bermitra dengan Alipay untuk memperluas penerimaan pembayaran mobile untuk turis Cina yang berkunjung ke Indonesia.
Tidak mau kalah dengan negara tetangga Singapura, Filipina dan Malaysia, perlombaan mendirikan Bank Digital pun bangkit di Indonesia tahun 2020 ini, seperti Go-jek berencana mendirikan Bank Digital melalui akuisisi Bank Artos dan Bank BCA mencaplok Bank Royal dan Bank Rabobank untuk disulap menjadi Bank Digital. Salim Group sudah mencaplok Bank Ina Perdana dan Akulaku ke Bank Yudha Bhakti. Sementera Grab sedang mengajukan lisensi Digital Banking dari Monetary Authority of Singapore.
Asia telah menjadi pasar perbankan regional terbesar selama lebih dari sepuluh tahun.
Lahan subur pengembangan perbankan digital lebih dulu di prakarsai oleh banyak perusahaan platform teknologi di Cina, WeChat Tencent menawarkan pinjaman melalui WeBank; di Korea Selatan, Kakao Talk meluncurkan bank digital – Kakao Bank – pada tahun 2017; dan grup e-commerce Jepang Rakuten telah berkembang menjadi kartu kredit, perbankan digital, investasi, dan asuransi. Tidak mau kalah bersaing dengan fintech, bank tradisional telah meluncurkan bank digital yang berdiri sendiri, (misalnya, Bank Negara YONO India, Jenius BTPN di Indonesia, dan DBS digibank di India dan Indonesia) sebagai cara untuk menjangkau pasar baru dan untuk mendapatkan pelanggan baru dengan biaya lebih rendah.
Munculnya platform baru perbankan yang mengandalkan ekosistem yang beragam untuk marketplace dan pembayaran, seperti platform Alibaba untuk perdagangan B2B dan B2C di Asia membuktikan kemimpinan inovasi jasa keuangan baru dibandngkan pasar Amerika dan Eropa. Ping An, salah satu konglomerat keuangan terbesar China, telah menemukan kembali dirinya sebagai perusahaan ekosistem “fintech”, dengan menyediakan pinjaman dan investasi, serta asuransi, lintas platform untuk perawatan kesehatan, perumahan, dan banyak lagi. Bank di berbagai pasar juga membangun platform digital sebagai cara untuk mengintegrasikan layanan keuangan ke dalam kegiatan sehari-hari konsumen dan usaha kecil dan menengah (UKM), misalnya HDFC Bank telah memperluas layanan untuk petani kecil di India; DBS Marketplace memungkinkan konsumen mencari mobil, kredit mobil, dan lainnya di Singapura.
Sementara mobility, data analitik, komputasi awan dan kecerdasan buatan (AI) sedang menciptakan peluang penting bagi bank-bank didunia, teknologi digital juga membuat model bisnis lama menjadi usang, karena Challenger Bank dari perusahaan-perusahaan teknologi besar (Big Tech) bersaing secara agresif untuk mencuri pangsa pasar dari pemain lama, seperti Bank Amazon dan Google, Apple Card dan Facebook Pay. Terlebih lagi dimasa lockdown ini, perbankan konvensional sedang menghadapi tantangan ekonomi makro yang lebih keras karena pertumbuhan melambat, kualitas aset menurun, dan ketidakpastian tentang prospek ekonomi kedepan yang meningkat.
Tantangan dan permasalahan di negara kita sendiri Indonesia semakin berat, dan bank-bank buku IV harus bertindak cepat untuk melawan penyerang baru pencuri pangsa pasar ini. Menciptakan inovasi Digital Banking sepertinya belum cukup karena masyarakat masih nyaman dengan transaksi tunai, kolaborasi dengan Fintech juga masih banyak yang meraba-raba keuntungan dan manfaatnya untuk perbankan itu sendiri apa, sedangkan pasar sudah terlanjur di rebut oleh pemain bukan bank alias perusahaan teknologi yang memiliki banyak keunggulan dan yang paling penting mereka memiliki e-KYC yang lebih mumpuni, aman dan mudah.
Sampai dengan November 2019, total aset perbankan di seluruh Indonesia mencapai Rp8,410 triliun yang dikuasai oleh 10 Bank berikut ini:
Platform | Bank | Aset (Rp T) | CEO |
BRIMo | BRI | 1.305,60 | Sunarso, Sep 2019 |
Mandiri Online | Mandiri | 1.275,70 | Royke Tumilaar, Sept 2019 |
BCA Mobile | BCA | 893,5 | Jahja Setiaatmadja, 2011 |
Mobile Banking | BNI | 815,2 | Achmad Baiquni, 2015 |
BTN Mobile | BTN | 316,7 | Pahala N. Mansury, Nov 2019 |
One Mobile | CIMB NIAGA | 262,8 | Tigor M. Siahaan, Sept 2019 |
Mobile Panin | Panin | 212,6 | Herwidayatmo, Sept 2014 |
D-Bank | Danamon | 195,8 | Yasushi Itagaki, Okt 2019 |
Jenius | BTP | 182,2 | Ongki Wanadjati Dana, Feb 2019 |
Maybank2u ID | Maybank | 177,8 | Taswin Zakaria, 2013 |
Lantas bagaimana dengan nasib bank-bank buku 3, 2 dan 1 yang tidak cukup memiliki modal untuk berinovasi? Belum lagi terhambat oleh batasan regulasi OJK yang menerbitkan POJK No. 12/2020 yang mengatur modal inti sedikitnya Rp3 triliun pada 2022. Terdapat 13 bank umum mulai dari kongsi Chairul Tanjung, Patrick Walujo hingga Pemda Banten yang harus bekerja keras agar tidak diturunkan menjadi bank perkreditan rakyat (BPR). Opsi konsolidasi, merger dan akuisisi sepertinya akan terjadi. Seperti Bank Permata yang sudah resmi di akuisisi oleh Bangkok Bank, Merger Bank Banten dengan Bank BJB dan kinerja buruk 7 bank-bank ini pun tak lepas dari sorotan harus rela untuk segera di konsolidasi, yakni BTN, Bank Yudha Bhakti, Bank Mayapada, Bank Papua, BPD Banten, Bukopin, dan Bank Muamalat Indonesia.
Perbankan Sebelum Corona
Selama beberapa dasawarsa terakhir, perbankan Indonesia telah menjadi perbankan idaman di kawasan Asia Tenggara, tetapi ini tidak lagi setelah pandemi covid-19 mendera ekonomi dunia, karena perbankan kita paaling tidak siap beradaptasi dengan perubahan, dari kakunya regulasi hingga kendala operasional work from home.
Turunnya rata-rata global atas margin, pengembalian atas ekuitas (ROE), price-to-book (P/B) kelipatan dan NPL yang tinggi. Dan segala sesuatunya akan menjadi lebih buruk bagi bank-bank di Indonesia karena sudah terlambat mengambil peluang emas digital banking. Terbukti dari survey yang kami lakukan tentang Tren Transaksi Keuangan Digital sebelum dan selama PSBB beberapa waktu lalu terhadap 3200 responden di seluruh Indonesia yang mayoritas adalah penguna transaksi elektronik, 98% usia dibawah 35 tahun dan sisanya 2% usia datas 35 -45 tahun, menunjukkan pemakaian uang tunai masih mendominasi sebesar 69%, sementara pembayaran elektronik hanya 31% saja, tidak ada pertumbuhan signifikan transaksi dompet digital dan mobile banking, hanya 10% dan nasabah bank lebih banyak melakukan transaksi keuangan mengunakan platform fintech (59%) dibandingkan mobile banking (41%). Penetrasi kartu debit dan kartu kredit cenderung stagnan di angka 1 %. Sedangkan perbankan masih sibuk promosi kartu kredit dengan segala promo discount nya yang saya pikir tidak relevan di masa PSBB.
Masyarakat lebih percaya melakukan transaksi keuangan digital melalui platform fintech dibandingkan mobile banking. Yang mengejutkan 89% lagi ternyata masyarakat kita lebih suka mengunakan uang cash daripada e-money.
Pantas jika pertumbuhan pendapatan industri perbankan di Indonesia melambat dari dua digit pada tahun-tahun awal dekade ini menjadi hanya dibawah 1 digit atau sekitar 5% per tahun untuk periode dari 2018 hingga 2019. Margin juga menipis, karena bank-bank bersaing tidak hanya dengan sesama bank namun juga dengan pendatang baru Fintech dan Bigtech. ROE perbankan rata-rata untuk Asia menurun dari 12,4 persen pada 2010 menjadi 10,1 persen pada 2019.
Di pasar negara berkembang, kenaikan biaya modal dan penurunan kualitas aset juga menggigit pengembalian, mendorong rata-rata ROE turun dari 19,5 pada 2010 menjadi 11,4 persen pada tahun 2019, konvergen dengan rata-rata global. Investor telah menunjukkan dukungan kuat untuk Fintech dan pesaing Bigtech di kawasan Asia Tenggara, tetapi prospek untuk bank-bank tradisional pada keseimbangan, pesimistis, mendorong rasio P/B untuk perbankan turun dari 1,4 pada 2010 menjadi 0,7 pada 2019 – mengikuti rata-rata global 0,9.
Pertumbuhan pendapatan dan laba tidak hanya melambat dan pelemahan industri perbankan lebh banyak didorong oleh musuh yang tidak kelihatan yang secara operasional lebih efisien karena tidak memerlukan kantor fisik, penguasaan big data yang jauh lebih baik dan keamanan data yang solid dengan investasi yang lebih murah. Jika, seperti yang diramalkan oleh banyak banker dan ekonom, pertumbuhan PDB terus kehilangan momentum, bank akan ditantang dengan kondisi yang tidak normal, memburuknya aset, menemukan jalan baru pendapatan dan kemungkinan harus berurusan dengan ancaman likuiditas dan likuidasi.
Pertumbuhan PDB yang lebih lambat di Tiongkok dan diperparah oleh gesekan perdagangan yang sedang berlangsung dengan AS yang akhir-akhirnya cenderung tidak mereda malah justru ke arah yang lebih buruk, serta peningkatan cepat harga real estate relatif terhadap pendapatan rumah tangga yang dapat sangat membebani mitra dagang negara itu, karena efek koreksi berpotensi mengganggu stabilitas bank di pasar tetangga, termasuk berimba ke Indonesia tentunya , yang faktanya ketergantungan faktor ekonomi terhadap Tiongkok sangat tinggi.
Selain hal tersebut diatas, perbankan terbuka (Open Banking) yang telah di inisiasi oleh Bank Indonesia dalam SPI 2025 sedang dijajaki dengan beragam pendekatan agar kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan teknologi non-bank lebih luas bisa diterapkan dalam sistem perbankan. India, misalnya, memungkinkan penyedia layanan non-bank akses langsung ke UPI (Unified Payments Interface); Hong Kong dan Singapura baru-baru ini memperkenalkan prosedur baru untuk perizinan bank digital saja (tanpa kantor cabang). Australia dan Singapura – antara lain – telah mengadopsi aturan perbankan terbuka yang mewajibkan bank untuk mengizinkan penyedia layanan pihak ketiga yang memenuhi syarat untuk terhubung ke sistem perbankan untuk mengakses informasi rekening dan memulai transaksi atas nama pelanggan.
Kami berharap bahwa ketika regulator mempertimbangkan cara-cara untuk mempromosikan biaya yang lebih rendah dan produk yang lebih baik bagi konsumen, serta peningkatan efisiensi dan kontrol sistem, perbankan terbuka kemungkinan akan menjadi norma baru (new normal) setelah pandemi ini selesai.
Ini tidak diragukan lagi akan meningkatkan tekanan pada margin dan pangsa pasar bank-bank lama ketika mereka bersaing dengan pemain fintech pembayaran, pinjaman, dan investasi. Skala memainkan peran yang lebih besar dalam lingkungan yang menantang ini, dengan implikasi positif untuk margin, efisiensi biaya, dan produktivitas, dan perbankan terbuka dapat membuktikan inovasi ini bagi bank-bank yang berwawasan ke depan yang dapat memanfaatkan skala dan aset inti mereka – hubungan pelanggan, cadangan data, dan keahlian yang telah terbukti dalam manajemen risiko – untuk memberikan produk, layanan, dan harga yang lebih baik.
Sebagian besar bank, bagaimanapun, akan ditantang untuk meningkatkan pengembalian mereka secara memadai untuk memenangkan investor dan melakukan transformasi yang diperlukan untuk tetap kompetitif dan relevan. Lembaga-lembaga yang bermodal besar menghasilkan pengembalian terdepan pasar kemungkinan akan berupaya untuk memperkuat keunggulan mereka dengan mengakuisisi organisasi yang lebih kecil (less-well-capitalized) untuk meningkatkan skala secara sistemik. Menimbang dinamika ini, bank-bank di Indonesia bersiap untuk konsolidasi dengan bantuan bank jankar (anchor bank), menuju perbankan baru yang berbeda dari sebelumnya.
Mendesign ulang Perbankan masa depan
Inilah kondisi kita sekarang. Bergulat dengan virus corona. Tanpa kepastian. Persis seperti cerita Franz Kafka dalam film pendeknya Before the Law, kita berhadapan dengan dua pilihan. Menunggu dalam waktu yang tak pasti hingga kematian datang. Atau melakukan karantina wilayah dengan menutup pintu gerbang setiap kota lalu virus akan mencari pintu gerbang lainnya yang masih terbuka. Namun semua sudah terlambat ! Dia mati sebelum mendapatkan kepastian hukum. Anda boleh sepakat atau tidak. Perbankan terlambat merespons covid-19. Sebenarnya kita punya waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan banyak hal, sejak virus ini menjadi pandemi. Sekarang sudah masuk tahapan PSBB, apa yang akan anda lakukan?
Dunia akan menghadapi perubahan besar setelah virus corona usai. Keputusan yang diambil oleh pemerintah di setiap negara, akan membentuk dunia untuk tahun-tahun ke depannya. Begitulah kata-kata pembuka dari tulisan Yuval Noah Harari, sejarawan sekaligus penulis buku Sapiens dan Homo Deus, yang berjudul The World After Coronavirus. Tulisan itu terbit di Financial Times, 20 Maret 2020.
Menurut Yuval, umat manusia tengah menghadapi krisis global, mungkin terbesar dalam generasi saat ini.. Mulai dari sistem kesehatan, ekonomi, politik, pendidikan hingga budaya. Keputusan yang biasa membutuhkan waktu bertahun-tahun pada masa normal, akan disahkan dalam waktu singkat. Kata Yuval, itulah sifat darurat. Mereka mempercepat proses sejarah. Dalam masa krisis saat ini, menurut dia, pemerintah di setiap negara akan menghadapi dua pilihan sulit. Pertama adalah pengawasan totaliter dan pengawasan warga.
Sementara pilihan kedua adalah solidaritas global dan isolasi nasional. Yuval menilai bahwa keputusan untuk bersatu secara global akan berbuah kemenangan. Tidak hanya terhadap virus corona, tetapi semua epidemi dan krisis di masa depan yang mungkin menyerang umat manusia. “Ya, badai akan berlalu. Umat manusia akan selamat, sebagian besar dari kita akan hidup, tetapi kita akan mendiami dunia yang berbeda,” ujarnya,
Sama seperti besi – menajamkan besi, kami percaya bahwa industri perbankan akan muncul lebih kuat dan lebih ramping dari sebelumnya.
Agar tetap relevan, bagaimanapun, setiap bank harus mengubah dirinya – tugas yang sulit yang membutuhkan komitmen yang kuat. Pada saat bersamaan, bank harus menyeimbangkan tujuan jangka pendek – khususnya memperkuat inti dan menangkap peluang pertumbuhan – dengan prioritas untuk jangka panjang – misalnya mengartikulasikan kembali tujuan digitalisasi perbankan, mendefinisikan kembali proposisi nilainya, dan membangun kembali model operasi.
Semakin banyak bank akan mendapatkan pelanggan baru dan berinteraksi dengan pelanggan yang sedang berlangsung melalui ekosistem digital, membutuhkan pendekatan baru untuk branding dan manajemen komunikasi serta perubahan dalam model bisnis dan arsitektur teknologi. Dengan performa terbaik harus tetap waspada dan mempertahankan keunggulan dalam platform berbasis pelanggan, dan pengembalian dengan menambah aset data dan kemampuan analitis mereka. Organisasi yang menghasilkan pengembalian di bawah biaya modal rata-rata – sekitar 2/3 bank di Indonesia – akan menghadapi pilihan eksistensial: entah menemukan kembali agar tetap relevan atau tertinggal dan akhirnya menghilang. Bank harus “disrupt diri mereka sendiri” bergeser dari model lama ke model baru dengan cara-cara kerja baru, semuanya sambil meningkatkan pendapatan dan memperluas pangsa pasar.
Para pemimpin perbankan Indonesia saat ini sedang mengambil alih langkah-langkah tegas untuk memperkuat inti, dengan fokus pada produktivitas, risiko, dan optimalisasi modal.
Banyak yang telah mengurangi biaya operasi hingga 30-40 persen di seluruh bagian penjualan dan layanan, fungsi pendukung, dan operasi back-office melalui digitalisasi yang luas. Potensi penuh dari peluang ini terletak dalam mengadopsi penganggaran berbasis nol untuk mengubah pola pikir dan mendesain ulang proses untuk mencapai keuntungan radikal dalam produktivitas. Untuk manajemen risiko, bank menemukan bahwa mereka dapat mengurangi pinjaman kerugian sementara memungkinkan populasi yang lebih luas untuk memenuhi syarat untuk pinjaman dengan mengembangkan algoritma pembelajaran mesin (machine learning) untuk menganalisis kombinasi data penjaminan tradisional dan data tidak terstruktur dari sumber internal dan eksternal.
Alokasi modal adalah area lain di mana bank dapat memanfaatkan kekuatan baru dalam analitik data untuk mengurangi pemborosan. Sebagai contoh, beberapa bank dapat mengalokasikan konsumsi modal ke tingkat produk dan rekening individual, yang pada gilirannya mengarah pada pembobotan risiko yang sangat akurat di tingkat portofolio. Akibatnya, bank-bank ini telah dapat membebaskan antara 10 dan 20 % dari modal.
Untuk mencapai peningkatan kinerja yang radikal, bank harus memanfaatkan semua alat, teknologi, dan kemampuan baru yang tersedia saat ini, termasuk digitalisasi, analisis data lanjutan, robotika, dan AI. Bank dapat menggunakan kemampuan yang sama ini untuk mengejar pertumbuhan strategis, dengan fokus pada empat bisnis yang tumbuh cepat: manajemen kekayaan (wealth), pinjaman konsumen (lending) dan UKM / KUR, serta transaksi/pembayaran.
Bersama-sama, bisnis-bisnis ini memiliki potensi pendapatan baru 5-10 Triliun untuk bank-bank setiap tahunnya.
Dalam manajemen kekayaan (wealth), kuncinya adalah untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara perangkat digital seperti chatbots, voice assistance dan robo advisor. Dalam segmen bernilai tinggi dan sangat tinggi, ini berarti memberikan penawaran portofolio yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing klien. Penggunaan pengenalan suara (voice recognation) dan AI dapat mendukung personalisasi tingkat tinggi pada skala untuk segmen orang kaya. Pinjaman konsumen dan UKM juga siap untuk pertumbuhan yang kuat. Pinjaman ritel di Asia Tenggara, yang berjumlah $ 12,8 triliun pada tahun 2018, berada di jalur yang tepat untuk mencapai $ 21,2 triliun pada tahun 2025.
Buku pinjaman untuk UKM – yang sudah lebih besar dari pinjaman ritel dan korporasi – diperkirakan akan tumbuh 9% setiap tahun, berjumlah $ 23 triliun pada tahun 2025. Bank dapat menggunakan pertumbuhan yang kuat ini sebagai dasar untuk mengembangkan proposisi nilai baru dan mengalikan aliran pendapatan.
Di pasar pinjaman konsumen, regulator di beberapa negara waspada dengan tingkat hutang konsumen yang meningkat, dan bank harus menggunakan model risiko yang canggih untuk mengidentifikasi pelanggan yang paling memenuhi syarat dalam segmen di mana penetrasi produk rendah relatif terhadap PDB. Demikian pula, dengan menggabungkan data tradisional dan non-tradisional, bank-bank besar dan pemain fintech telah membangun mesin penilaian risiko untuk mempercepat persetujuan pinjaman bagi pelanggan UKM, bahkan mereka yang memiliki sejarah kredit terbatas atau nasabah baru.
Salah satu contohnya adalah program “Milk-to-Money” HDFC di India, yang melacak setoran ATM reguler untuk membentuk profil kredit bagi peternak sapi perah, yang banyak dari mereka baru saja membuka rekening bank.
Bank-Bank bisa meningkatkan pertumbuhan yang kuat terhadap Ritel dan Pinjaman UMKM sebagai landasan untuk inovasi dan bangkit kembali.
Bank berpotensi meningkatkan pendapatan transaksi dan pembayaran sebesar 10-20 % di empat lini bisnis utama: manajemen kas, jasa perdagangan, sekuritas, dan remitansi. Persaingan sengit dan margin tipis, sehingga penting bagi bank untuk menggabungkan skala dengan kemampuan analitik canggih untuk menghilangkan pemborosan, menciptakan produk baru, dan hubungan yang lebih baik dengan pelanggan. Meskipun sering diasumsikan bahwa permintaan untuk pengalaman digital yang unggul lebih tinggi di antara para pelanggan perbankan ritel, pelanggan korporasi dan UKM pelanggan sangat mengharapkan adanya tingkat layanan sepadan dan kemudahan penggunaan. Sebagai solusinya, bank-bank menggunakan API untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi perbankan lebih dalam di dalam sistem perusahaan, memungkinkan mereka untuk memberikan tampilan dashbord, misalnya, posisi kas harian antar berbagai mata uang, investasi, modal kerja, dan hutang. Selebihnya, model analitik data yang canggih membantu bank meningkatkan layanan manajemen likuiditas mereka, mengoptimalkan pengaturan jaringan untuk transaksi kita, dan menerapkan penetapan harga yang dinamis.
Agar berhasil dalam upaya untuk memperkuat inti bisnis perbankan, membangun model bisnis baru, dan meningkatkan pendapatan, bank akan perlu menggunakan alat, teknologi, dan kemampuan mutakhir. Hal ini bisa dicapai dengan pemikiran baru dan penciptaan kembali cara bank beroperasi di 4 Pilar: arsitektur teknologi; analisis lanjutan; manajemen sumber daya; dan kemitraan, merger & akuisisi.
Arsitektur Teknologi yang Fleksibel: Untuk bersaing dengan perusahaan teknologi besar dalam hal kecepatan, produktivitas, dan pengalaman pelanggan membutuhkan platform modular, yang memungkinkan pengembang melakukan integrasi terus-menerus dan interoperabilitas dengan sistem inti. Sementara sistem inti dapat ditransformasikan secara bertahap, aplikasi modular atau microservices yang mendukung penerapan beberapa kasus bisa diperbarui ketika pasar berubah dan inovasi baru tersedia. Selain perubahan arsitektur dan sistem, bank juga harus belajar untuk mengadopsi cara kerja yang baru. Ini tidak hanya membutuhkan fleksibilitas dalam memperoleh, meningkatkan, dan mengintegrasikan profil bakat baru, tetapi juga beralih ke model dan budaya operasi baru di mana kompetensi bisnis dan teknologi saling terkait erat.
Analisis Data Lanjutan : Analisis data lanjutan merupakan landasan pengalaman pelanggan yang unggul, dan banyak bank kini fokus pada data sebagai aset perusahaan inti. Ini memerlukan artikulasi strategi data perusahaan dan peta jalan investasi sehingga proyek data dan analitik dapat terkait erat dengan penciptaan nilai. Bank harus fokus terlebih dahulu pada kasus penggunaan analitik canggih dengan dampak terbesar pada pengalaman pelanggan dan nilai bagi bank.
Commonwealth Bank of Australia (CBA), misalnya, telah membangun mesin keterlibatan pelanggan yang menganalisis lebih dari 30 miliar titik data untuk menghasilkan lebih dari 40 juta penawaran setiap bulan. Mengembangkan program data dan analitik terbaik membutuhkan visi dan komitmen, dan untuk mendapatkan pengembalian investasi yang baik, sangat penting untuk memberi karyawan alat dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk merumuskan permintaan data mereka sendiri untuk perencanaan strategis dan pengelolaan tujuan strategis sehari-hari. Ini membutuhkan kombinasi tata kelola yang kuat dan otonomi untuk memungkinkan individu di seluruh organisasi – mulai dari penjualan dan layanan hingga manajemen risiko dan inovasi digital – untuk unggul dalam lingkungan yang didorong data.
Talent Management: Menurut McKinsey Global Institute dalam artikel “Skill shift: Automation and the Future of the Workforce,” bulan Mei 2018, Dengan otomatisasi dapat mengganggu hingga 40% dari semua aktivitas perbankan dan memengaruhi setengah dari pekerjaan perbankan pada tahun 2030, bank saat ini sedang mengevaluasi cara menggabungkan perekrutan, penyelamatan, dan penempatan kembali untuk membangun tenaga kerja masa depan. Maybank Malaysia (Malayan Banking Berhad) telah meluncurkan program pembelajaran untuk membantu karyawan memperoleh keterampilan yang relevan untuk fase selanjutnya dalam karir mereka, dengan sesi tentang pengkodean, pemrograman algoritme, kecerdasan buatan, dan pembelajaran mesin.
Bertujuan untuk meningkatkan daya tarik mereka kepada milenium dengan keterampilan digital yang unggul, banyak bank membangun reputasi untuk kepemimpinan dalam inovasi teknologi, menjalin hubungan dengan komunitas fintech dan akademik, dan mengembangkan budaya di mana karyawan yang berbakat dan ambisius tahu bahwa mereka dapat membuat perbedaan. Itu sangat penting untuk memahami perubahan yang diperlukan dalam profil bakat komposit bank, dan untuk berhasil dalam transisi ini, para pemimpin puncak harus berkomitmen tidak hanya untuk merekrut bakat baru, tetapi juga untuk membantu karyawan yang ada memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk berkembang dalam budaya baru.
Kemitraan, Merger & Akuisisi: Di era perbankan terbuka dan ekosistem digital ini, banyak bank mendapati bahwa kemitraan sangat penting untuk keberhasilan dalam memperluas footprint, memberikan produk-produk unggulan, dan mendapatkan akses baik untuk pelanggan baru maupun untuk jenis data baru.
Sebagai contoh, tiga dari empat bank besar Australia – ANZ, NAB, dan Westpac – telah berinvestasi di Data Republic, pusat data di mana organisasi dapat menyimpan, bertukar, dan berkolaborasi dalam proyek data agregat dalam lingkungan yang aman. Di Thailand, Siam Commercial Bank dan Julius Baer telah bermitra untuk memberikan peluang investasi global kepada pelanggan. Di Indonesia, Bank Central Asia (BCA) telah terhubung dengan situs-situs e-commerce terkemuka, memungkinkan bank untuk memperluas bisnis pinjamannya sambil menjaga biaya risiko tetap rendah. Dan di Singapura, OCBC Bank (Oversea-Chinese Banking Corporation) menawarkan hipotek rumah (home mortage) melalui portal keuangan pribadi MoneySmart.
Kemitraan dan M&A adalah cara yang efektif untuk memperluas jangkauan pasar, mencapai skala, dan menggabungkan kemampuan. Merger dan Akuisisi (M&A) adalah hal lain cara untuk mendapatkan kemampuan penting dan memperluas jangkauan pasar. DBS, misalnya, telah mengakuisisi operasi ANZ di lima negara. Kotak Bank telah memperluas jejaknya ke India selatan dengan mengakuisisi ING Vysya dan memasuki pasar bawah dengan mengakuisisi BSS Microfinance. Mengingat pentingnya skala dalam mencapai pengembalian yang lebih tinggi – dan, akibatnya, valuasi yang lebih tinggi – merger dan akuisisi yang dilakukan dengan hati-hati menawarkan opsi yang menarik untuk meningkatkan pangsa pasar dan mengkonsolidasikan skala, kemampuan, dan bakat.
Jika mereka belum melakukannya, sekaranglah saatnya bagi bank untuk mendirikan divisi khusus yang bertanggung jawab untuk merencanakan dan mengelola M&A, serta kemitraan. Bank harus ingat bahwa 90 persen dari nilai merger direalisasikan dalam dua tahun pertama dan menetapkan lebih awal pada rencana untuk integrasi pasca-merger untuk memastikan bahwa sinergi segera terwujud.
Penutup
Dunia sedang menyeimbangkan kembali, memunculkan tantangan dan peluang yang mendorong bank-bank untuk memulai jalur transformasi radikal. Namun, langkah ke depan penuh dengan tantangan eksistensial untuk setiap organisasi perbankan, bank dan non-bank, pemain lama dan pendatang baru:
Bank-bank di Indonesia harus menemukan kembali diri mereka sendiri atau menghilangkan resiko. Untuk mempertahankan status mereka sebagai penyedia layanan keuangan unggulan, bank perlu mengembangkan kemampuan digital dan analitik terbaik di kelasnya dan mencapai tingkat baru produktivitas melalui skala yang lebih besar, pemimpin pasar dalam efisiensi biaya, dan model yang didorong data (data-driven) untuk meningkatkan pendapatan di seluruh waralaba, dengan fokus terutama pada pengelolaan kekayaan, pinjaman ritel & UKM, dan transaksi perbankan.
Selain model bisnis baru, bank harus mendefinisikan lagi tujuan mereka. Sebagai pelayan sistem intermediasi keuangan, bank sangat penting bagi masyarakat. Namun, pada tahun-tahun setelah krisis keuangan global 2008 lalu, banyak bank tampaknya telah kehilangan tujuan dan persepsi industri terhadap perbankan belum sepenuhnya pulih. Ketika mereka menemukan kembali diri mereka sendiri setelah pandemi ini selesai, dihantam virus corona yang bisa jadi lebih buruk daripada krisis ekonomi global, bank kembali diuji “mengapa” bank itu hadir?
Penekanan peran perbankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mempromosikan pertumbuhan berkelanjutan dan membangun masa depan yang lebih kuat akan terbukti disini, jika tidak maka bank hanya akan menjadi utilitas bodoh (dump utilities) perusahaan-perusahaan teknologi yang lebih cepat meresponse setiap perubahan, mudah mengaplikasikannya dan murah menanggapi setiap resiko.